Tulisan berjudul The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo mendapatkan
reaksi luas. Puluhan milis mengangkat tema itu sebagai bahan diskusi,
mulai dari milis manajemen, milis komunitas, hingga milis humor (ajaib,
apa hubungannya humor dengan kejatuhan Panasonic yaks?).
Beberapa manajer yang bekerja di perusahaan elektronik Jepang (dan
pabriknya ada di Indonesia) merasa sangat terusik dengan tulisan itu.
Mereka bilang tulisan itu tendensius, provokatif dan hanya mengabarkan
informasi palsu. Hiks.
Pesan tulisan itu sejatinya amat sederhana : di dunia ini sungguh
tidak pernah ada keabadian. Perubahan bisnis berlangsung dengan
dramatis, sehingga satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri (the only permanent is change itself).
Apple, Samsung dan LG yang kini menjadi dewa dalam panggung
elektronika global, suatu saat niscaya juga akan terpelanting. Lalu apa
saja elemen yang membuat sebuah perusahaan – sedahsyat Apple sekalipun —
bisa roboh, dan apa yang kudu dihindari; akan kita racik sebagai sajian
renyah di Senin pagi ini.
Limbungnya perusahaan seperti Sony dan Sharp sebenarnya hanya merupakan siklus sejarah yang kembali berulang.
Dulu kita pernah kenal merk televisi & audio seperti Grundig,
Blaupunkt, dan JVC. Mereka semua dilibas oleh Panasonic dan Sony pada
era tahun 80-an. Nah sekarang giliran Sony dan Panasonic yang ditendang
oleh duet Samsung dan LG. Suatu hari nanti, duet Korea ini mungkin juga
akan terkoyak oleh some companies from somewhere (mungkin dari China dan
Indonesia. Who knows?).
Lalu apa yang sebenarnya membuat sebuah perusahaan bisa jaya, lalu
semaput dan kemudian mati? Dari beragam studi terhadap bangkit dan
robohnya sebuah perusahaan skala dunia, kita mencatat ada tiga variabel
yang layak distabilo.
Variabel # 1 : Visionary CEO.
Kebangkitan sebuah perusahaan skala dunia hampir selalu dipicu oleh
founder and CEO yang visioner. Apple pernah punya Steve Jobs. Microsoft
pernah punya Bill Gates. Sony dulu punya sang legenda Akio Morita. Dan
Panasonic memiliki pendiri hebat bernama Konosuke Matsushita.
Sebaliknya, nyungsep-nya sebuah perusahaan juga lazim dimulai dengan sosok CEO yang abal-abal, alias tidak perform.
Sony kini limbung lantaran gagal menemukan sosok pengganti yang
sehebat Akio Morita (kini Sony malah dipimpin oleh ekspat dari USA).
Microsoft sama. Sudah sepuluh tahun harga saham Micorosft stagnan
lantaran CEO mereka sekarang, Steve Ballmer, tidaklah se-tajir Bill
Gates. Sebaliknya, Samsung terus melejit karena mereka punya CEO bernama
Lee Kun Hee – sosok visioner yang dianggap sebagai The Steve Jobs of
Korea.
Itulah kenapa, memprediksi kejayaan sebuah perusahaan dunia
sebenarnya simpel : lihatlah level kecakapan dan track record CEO
mereka.
Variabel # 2 : Arrogance Syndrome.
Ini
penyakit psikologis yang ternyata banyak di-idap oleh
perusahaan-perusahaan besar. Bertahun-tahun menjadi market leader,
membuat mereka pelan-pelan terjangkiti sindrom arogansi, dan acap jadi
myopia (rabun) dengan dinamika perubahan.
Pada sisi lain, posisi sebagai underdog biasanya justru akan
memicu fighting spirit yang dahsyat. Samsung dan LG dulu dianggap
sebagai underdog sehingga amat bersemangat menjatuhkan Sony dkk.
Dan tekad itu menjadi “lebih mudah” lantaran pada saat yang
bersamaan perusahaan-perusahaan elektronika raksasa Jepang tergelincir
dalam “sindrom arogansi” yang membuat mereka terlena dalam kebesaran.
Pelajaran pahit itu yang kini coba diserap oleh Toyota. Petinggi
mereka bilang : “Perusahaan mobil yang paling kami takuti bukan BMW atau
Merceds Benz. Tapi Hyundai. Kami tidak ingin tragedi Sony menimpa pada
diri kami”.
Maka benarlah senandung dari Andy Groove, pendiri Intel yang pernah bilang : Only paranoid will survive. Lengah sedikit, mati.
Variabel # 3 : Creative Destruction.
Ini sebuah konsep radikal yang berbunyi seperti ini : bunuhlah produk
Anda sendiri, sebelum kompetitor menyeretnya ke lubang kuburan. Kodak
terlambat membunuh produk kamera mereka, dan akhirnya mati. Produsen
disket gagal membunuh produk mereka, dan kini lenyap. Nokia telat
membunuh symbian, dan kini mereka terkaing-kaing di bibir kematian.
Pesannya lugas : Anda tidak boleh terlalu jatuh cinta dengan
produk Anda sendiri. Suatu saat Anda harus tega menguburnya, dan lalu
segera pindah membangun produk baru yang mungkin sama sekali berbeda.
Tidak mudah. Apalagi jika produk lama itu masih laris.
Itu yang namanya “innovator dilemma” : perusahaan gamang melakukan
inovasi sebab takut ini akan membunuh produknya sendiri. Tapi ini yang
harus dilakukan, sebelum kompetitor melakukannya dengan brutal dan tanpa
ampun. Anda harus berani melakukan “Creative Destruction”.
Itulah tiga variable kunci yang layak dicatat untuk membuat sebuah
perusahaan berkelit dari kematian yang prematur. Setidaknya, dengan
pemahaman ini, sebuah perusahaan bisa tetap hidup hingga 100 atau 200
tahun lagi.
Meski kita semua tetap sadar : dalam dunia yang fana ini, tidak pernah ada keabadian.
Sumber :
0 comments:
Posting Komentar