30 Maret 2012

Kisah Anak Berbakti yang Menggendong Ibunya

“Saya hampir saja tidak bisa terlahir ke dunia ini.” Ding Zu-ji, seorang pensiunan penyelidik khusus yang diambil fotonya sedang menggendong ibunya dengan sehelai kain kembang dalam sebuah rumah sakit di kota Tainan Taiwan, ketika menerima wawancara khusus dari para wartawan tanggal 6 Maret 2012 mengungkapkan sebuah rahasia betapa kehidupannya sangat berkaitan erat dengan kehidupan ibunya; dia mengatakan bahwa pada saat ibunya sedang mengandungnya enam bulan, naik kapal meninggalkan Tiongkok menuju Taiwan dan hampir saja dibuang ke laut karena tidak dapat menunjukkan kartu identitas diri.
“Saya adalah anak paling sulung dalam keluarga, hubunganku dengan ibu memang paling dekat dan itu ada cerita dibaliknya.” Ding Zu-ji mengenang kembali pada tahun 1950 ketika Pemerintah Nasionalis mundur dari Tiongkok ke Taiwan, disebabkan ayahnya adalah seorang prajurit, maka ibunya mengikuti keluarga prajurit lainnya untuk sama-sama naik kapal ke Taiwan; karena banyak sekali warga Tiongkok yang ingin pergi ke Taiwan, maka setiap kapal penuh sesak dengan manusia dan membuat setiap unit kapal kelebihan beban, para perwira dan prajurit di atas kapal melakukan pemeriksaan keamanan dengan sangat ketat demi mencegah naiknya musuh ke atas kapal, siapa saja yang tidak membawa kartu identitas diri akan dibuang ke laut.
Ding Zu-ji mengatakan kalau saat itu kebetulan ibunya sedang mengandungnya enam bulan, dengan perut buncit naik ke kapal untuk menuju Taiwan bersama-sama dengan keluarga prajurit lainnya; tak disangka ketika para perwira dan prajurit memeriksa kartu identitas diri, ibunya tidak bisa menemukan kartu identitas diri dan membuatnya sangat gelisah. Walau teman seperjalanan lainnya berinisiatif menjadi saksi, bahkan memohon belas kasihan dari para perwira dan prajurit, namun mereka tetap ikut aturan dan hampir saja membuang ibu yang sedang berperut besar ke laut.
Untungnya, ketika kedua belah pihak sedang berkomunikasi dan tarik menarik, mendadak ada orang yang menemukan ada selembar kartu identitas diri di bawah bangku panjang sebelah, setelah diambil ternyata adalah kartu identitas diri ibu yang jatuh karena kurang hati-hati, barulah terhindar dari ambang kematian. Ding Zu-ji berkata sambil tertawa: “Sejak itulah hubunganku dengan ibu sangatlah dekat.”
“Saya bukan anak berbakti!” Ding Zu-ji menekankan dengan nada menyalahkan diri sendiri, “Saya tidak merawat ibu dengan baik, sehingga ibu terjatuh dan patah tulang kaki kiri, bahkan keinginan ibu untuk pulang ke Tiongkok juga tidak mampu direalisasikan, sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai anak berbakti.” Awalnya dia ingin menunggu kondisi tubuih ibunya membaik sedikit, baru akan membawanya pulang ke Tiongkok mengunjungi sanak keluarga di sana, Ding Zu-ji mengatakan dengan sedikit sedih: “Sayangnya ibu tidak bisa menunggu sampai saya bebas bepergian ke Tiongkok sudah pun kehilangan ingatan”; Ding Zu-ji harus menunggu selama tiga tahun sesudah pensiun sebagai penyelidik baru boleh pergi ke Tiongkok, dalam selang waktu tersebut ternyata semua ingatan ibunya sudah hilang, ini membawa penyesalan dalam diri Ding Zu-ji.
Ding Zu-ji mengatakan, pada tanggal 2 Maret 2012 bisa menggendong ibunya dengan sehelai kain kembang pergi ke rumah sakit terutama karena ibunya mengalami patah tulang dan tidak leluasa bergerak, karena ingin segera menghantarkan ibunya ke rumah sakit dan dalam hati juga berpikir menggendong sebentar tidak akan terlalu capek, barulah berbuat demikian, tidak pernah menduga kalau tindakannya ini akan menarik perhatian banyak orang; akan tetapi, dia menyatakan kalau di kemudian hari dia akan mempergunakan ambulans untuk menghantarkan ibunya dan meminjam ranjang dorong pada rumah sakit.

Sumber : Duniatraining.com
Read more »

[KISAH] Aku Terpaksa Menikahinya

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orang tua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.


Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
 
Sumber : Fashingnet.com
Read more »

26 Maret 2012

"I Have My Own Baby"

Kenapa saya suka baby? and I like to have my own baby
  • sebab baby sangat cute !
  • bau badan baby sangat wangi! (suka2)
  • suka tengok mata baby innocent...(buat kita rasa syg)
  • saya suka hug baby dan gendong baby sampai dia tidur (alala..sweetnye)
  • saya suka cium pipi baby sebab pipinya sangat lembut
  • semua yang ada pada baby semua kecil2-tgn/mata/mulut/kaki
  • tengok baby buat saya merasa tenang
  • suara baby nangis sangat comel (eee..geram tur gemez)
  • suka tengok baby tidur
  • pendek kata saya suka semuanya tentang baby  
jadi Alhamdulillah di Tgl 23 Maret 2012 hari jum'at kemarin pk 15.35, kami mendapatkan karunia Anak. Baby yang Cantik...melengkapi kebahagiaan keluarga kami.

 
Read more »

18 Maret 2012

Makna Sebuah Titipan

Entah kenapa saya selalu ingin menuliskannya. Ini adalah judul salah satu puisi karya WS Rendra. Mungkin sudah banyak yang mengenalnya. Dialah si Burung Merak. Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk menjadi sastrawan. Atau belajar susastra. Tetapi lebih kepada pemahaman hidup dan kehidupan. 

Pembelajaran bisa kita dapatkan dari siapa pun. Pencerahan bisa datang dari mana saja. Tak kenal waktu. Bahkan tak terduga. Asalkan baik, tidak bertentangan dengan nash atau dalil. Juga hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan. Jadi, mari kita nikmati luasnya kehidupan ini. Hiruplah keanekaragamannya. Pandanglah warnanya. Sebab hidup tidak selamanya hanya hitam dan putih, kadang abu-abu bahkan penuh warna. Kalau Ibnu Hajar dapat inspirasi karena tetesan air ke sebuah batu dalam hal belajar. Atau Mushashi yang dapat inspirasi dari pertunjukan topeng monyet, dalam menyempurnakan ilmu samurainya. Barangkali, lewat puisi ini bisa menggugah kesadaran kita dalam meningkatkan kepahaman tentang hidup dan aras ibadah kita. Lewat rangkaian kata – kata. Bukan hal yang mustahil, bisa menjadi sebuah inspirasi, point of view, tentang ibadah, musibah dan doa dari someone else. Yang jelas ini bukan dalil, tetapi cuma sebuah esai. Sebuah cermin dari esensi kehidupan, dari seorang pujangga kata-kata. 

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? 

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya? 

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita. 

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan. 

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: “aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku. 

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku. 

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja” 

Selesai membaca puisi ini, seolah-olah saya dinasehati. Tersentak. Begitu gagahnya untaian kalimat itu menghunjam sanubari saya. Tanpa jeda. Runut dan tegas. Mengingatkan manusia arti harta - benda yang dititipkan Allah kepadanya. Betapa angkuhnya manusia ketika barang titipanNya diambil oleh yang punya, terus meronta – ronta. 

Kedua, perlakuan kita dalam berdoa dan beribadah yang menjadikan Allah sebagai mitra dagang. Apa beda mitra dagang dan kekasih? Rendra sudah menjelaskan. Dan itu terasa ngeneki banget dengan tingkah laku saya selama ini. Saya jadi teringat cerita Nabi Ibrohim. Bagaimana dia bisa mendapat julukan Kholilullooh – kekasih Allah. Tak ada di dunia ini yang mendapat gelar itu, kecuali dia. Tak lain pengorbanan dan ibadahnya yang tiada tara kepada-Nya. Bagaimana dia harus menyembelih anaknya. Bagaimana dia harus meninggalkan anak dan istrinya. Padahal baru saja melahirkan di padang tandus yang tiada berpeghuni. Hanya karena tugas, sebagaimana ditanyakan Hajar; Afillah? Itulah gambaran kekasih. Kenapa nggak paham – paham aku ini? 

Apalagi sampai pada kesimpulan, Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Sungguh masih jauh. Hidup ini, maunya yang enak – enak saja. Emoh yang sedih dan sengsara. Padahal, keduanya hakikinya sama. Berpasangan. Ohh,.......! 

Padahal Allah telah berfirman; ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.” (QS al-Baqoroh 155 – 156) 

Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah
Read more »

16 Maret 2012

Demi Menghemat Biaya, Pelajar Ini Berlari 30 km Setiap Harinya

Besarnya rasa pengorbanan yang dimiliki oleh seorang pelajar SMA di Cina ini memang rasanya sangat pantas ditiru dan dijadikan inspirasi oleh para pelajar kita.
Ketika akhir-akhir ini ramai berita mengenai sebagian pelajar kita yang sibuk dengan tawuran, seorang siswa SMA berumur 19 tahun di Cina terus bertahan sekolah meskipun harus berlari 30 km sehari untuk menghemat biaya perjalanan sebesar 9 yuan (12 ribu rupiah). Dan kegiatan itu rutin ia lakukan selama 2 tahun!

Pelajar itu, Yan Mingqiang, memang hidup dalam keluarga yang miskin, tapi hebatnya, hal itu tidak membuat Yan menjadi seorang remaja yang miskin budi pekerti.
Ditengah kemiskinan tersebut, kedua orang tua Yan sakit, bahkan sang ibu tidak dapat meninggalkan tempat tidurnya. Untuk mengurangi beban finansial yang dialami keluarganya, di saat anak lain sibuk bermain, Yan selalu menghabiskan waktu liburnya dengan bekerja.

Seperti dilaporkan oleh chinanews.com, pengorbanan yang dilakukan Yan tersebut menjadikan dirinya sebagai seorang atlit lari jarak jauh yang baik, gurunya juga percaya anak ini memiliki prospek yang bagus dalam olahraga tersebut.
Bagi Yan, keinginan terbesarnya saat ini adalah kesembuhan bagi kedua orangtuanya.

Sumber : http://www.komplikasi.com/2012/03/demi-menghemat-biaya-pelajar-ini.html
Read more »

Kisah Siput dan Katak

Ini mungkin adalah renungan yang pernah anda baca di situs lain, tetapi tidak ada salahnya ane share kembali untuk anda yang belum pernah baca. Ada seekor siput selalu memandang sinis terhadap katak. Suatu hari, katak yg kehilangan kesabaran akhirnya berkata kepada siput:

"Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?"

Siput menjawab: "Kalian kaum katak mempunyai empat kaki & bisa melompat ke sana ke mari,
Tapi saya mesti membawa cangkang yg berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih."

Katak menjawab: "Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami (katak)."

Dan seketika, ada seekor elang besar yg terbang ke arah mereka, siput dengan cepat memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang.

Akhirnya siput baru sadar... ternyata cangkang yg di milikinya bukan merupakan suatu beban... tetapi adalah kelebihannya...

Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan...

Rejeki tidak selalu berupa emas, permata atau uang yang banyak bukan pula saat kita di rumah mewah & pergi bermobil. Karena bukan kebahagiaan yg menjadikan kita berSYUKUR tetapi berSYUKURlah yg menjadikan kita berbahagia...

Sumber : http://www.komplikasi.com/2012/03/renungan-kisah-siput-dan-katak.html
Read more »

14 Maret 2012

Ternyata Ayah itu MENAKJUBKAN

Ayah ingin anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, lebih tidak tergantung pada siapapun - dan (tapi) selalu membutuhkan kehadirannya.

Ayah hanya menyuruhmu mengerjakan pekerjaan yang kamu sukai. Ayah membiarkan kamu menang dalam permainan ketika kamu masih kecil, tapi dia tidak ingin kamu membiarkannya menang ketika kamu sudah besar. Ayah tidak ada di album foto keluarga, karena dia yang selalu memotret. 
 
Ayah mulai merencanakan hidupmu ketika tahu bahwa ibumu hamil (mengandungmu) , tapi begitu kamu lahir, ia mulai membuat revisi. Ayah membantu membuat impianmu jadi kenyataan bahkan diapun bisa meyakinkanmu untuk melakukan hal-hal yang mustahil, seperti mengapung di atas air setelah ia melepaskannya.
Ayah mungkin tidak tahu jawaban segala sesuatu, tapi ia membantu kamu mencarinya.

Ayah mungkin tampak galak di matamu, tetapi di mata teman-temanmu dia tampak lucu dan menyayangi. Ayah sulit menghadapi rambutnya yang mulai menipis....jadi dia menyalahkan tukang cukurnya menggunting terlalu banyak di puncak kepala *_~

Ayah akan selalu memelihara janggut lebatnya, meski telah memutih, agar kau bisa "melihat" para malaikat bergelantungan di sana dan agar kau selalu bisa mengenalinya. Ayah selalu senang membantumu menyelesaikan PR, kecuali PR matematika terbaru.

Ayah lambat mendapat teman, tapi dia bersahabat seumur hidup

Ayah benar-benar senang membantu seseorang... tapi ia sukar meminta bantuan.

Ayah terlalu lama menunda untuk membawa mobil ke bengkel, karena ia merasa dapat memperbaiki sendiri segalanya.

Ayah di dapur. Membuat memasak seperti penjelajahan ilmiah.
Dia punya rumus-rumus dan formula racikannya sendiri, dan hanya dia sendiri yang mengerti bagaimana menyelesaikan persamaan-persamaan rumit itu.
Dan hasilnya?... .mmmmhhh..." tidak terlalu mengecewakan" ^_~
Ayah akan sesumbar, bahwa dirinyalah satu- satunya dalam keluarga yang dapat memasak tumis kangkung rasa barbecue grill. *_~

Ayah mungkin tidak pernah menyentuh sapu ketika masih muda, tapi ia bisa belajar dengan cepat.

Ayah sangat senang kalau seluruh keluarga berkumpul untuk makan malam...walaupun harus makan dalam remangnya lilin karena lampu mati. Ayah paling tahu bagaimana mendorong ayunan cukup tinggi untuk membuatmu senang tapi tidak takut.

Ayah akan memberimu tempat duduk terbaik dengan mengangkatmu dibahunya, ketika pawai lewat.
Ayah tidak akan memanjakanmu ketika kamu sakit, tapi ia tidak akan tidur semalaman. Siapa tahu kamu membutuhkannya.

Ayah menganggap orang itu harus berdiri sendiri, jadi dia tidak mau memberitahumu apa yang harus kamu lakukan, tapi ia akan menyatakan rasa tidak setujunya. Ayah percaya orang harus tepat waktu. karena itu dia selalu lebih awal menunggumu di depan rumah dengan sepeda tuanya, untuk mengantarkanmu dihari pertama masuk sekolah

AYAH ITU MURAH HATI.....

Ia akan melupakan apa yang ia inginkan, agar bisa memberikan apa yang kamu butuhkan.... .

Ia membelikanmu permen merk baru yang kamu inginkan, dan ia akan menghabiskannya kalau kamu tidak suka.....
Ia menghentikan apa saja yang sedang dikerjakannya, kalau kamu ingin bicara...

Ia selalu berfikir dan bekerja keras untuk membayar SPP mu tiap semester, meskipun kamu tidak pernah membantunya menghitung berapa banyak kerutan di dahinya....

Bahkan dia akan senang hati mendengarkan nasehatmu untuk menghentikan kebiasaan merokoknya.. ..
Ayah mengangkat beban berat dari bahumu dengan merengkuhkan tangannya disekeliling beban itu....

Ketika ia ingin berkata ,,tidak" Ayah tidak pernah marah, tetapi mukanya akan sangat merah padam ketika anak gadisnya menginap di rumah teman tanpa izin. Dan diapun hampir tidak pernah marah, kecuali ketika anak lelakinya kepregok menghisap rokok dikamar mandi. Ayah mengatakan : " tidak apa-apa mengambil sedikit resiko asal kamu sanggup kehilangan apa yang kamu harapkan"

Pujian terbaik bagi seorang ayah adalah ketika dia melihatmu melakukan sesuatu persis seperti caranya....
Ayah lebih bangga pada prestasimu, daripada prestasinya sendiri....

Ayah hanya akan menyalamimu ketika pertama kali kamu pergi merantau meningalkan rumah, karena kalau dia sampai memeluk mungkin ia tidak akan pernah bisa melepaskannya.

Ayah mengira seratus adalah tip..
Seribu adalah uang saku..
Gaji pertamamu terlalu besar untuknya...

Ayah tidak suka meneteskan air mata ....
Ketika kamu lahir dan dia mendengar kamu menangis untuk pertama kalinya, dia sangat senang sampai-sampai keluar air dari matanya (ssst..tapi sekali lagi ini bukan menangis)

Ketika kamu masih kecil, ia bisa memelukmu untuk mengusir rasa takutmu...ketika kau mimpi akan dibunuh monster... tapi.....ternyata dia bisa menangis dan tidak bisa tidur sepanjang malam, ketika anak gadis kesayangannya di rantau tak memberi kabar selama hampir satu bulan.

Kalau tidak salah ayah pernah berkata : " Kalau kau ingin mendapatkan pedang yang tajam dan berkwalitas tinggi, janganlah mencarinya dipasar apalagi tukang loak, tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai besinya. begitupun dengan cinta dan teman dalam hidupmu, jika kau ingin mendaptkan cinta sejatimu kelak, maka minta dan pesanlah pada Yang Menciptakannya"

Untuk masa depan anak lelakinya Ayah berpesan : "Jadilah lebih kuat dan tegar daripadaku, pilihlah ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik dari ibumu, berikan yang lebih baik untuk menantu dan cucu-cucuku, daripada apa yang yang telah ku beri padamu"

Dan untuk masa depan anak gadisnya ayah berpesan : "Jangan cengeng meski kau seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! Laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kau gantikan posisi Ayah di hatimu"

Ayah bersikeras, bahwa anak-anakmu kelak harus bersikap lebih baik daripada kamu dulu....

Ayah bisa membuatmu percaya diri...
karena ia percaya padamu...

Ayah tidak mencoba menjadi yang terbaik, tapi dia hanya mencoba melakukan yang terbaik....
Dan terpenting adalah...

Ayah tidak pernah menghalangimu untuk mencintai Allah SWT, bahkan dia akan membentangkan seribu jalan agar kau dapat menggapai cintaNya, karena diapun mencintaimu karena cintaNya.

Jazakallahu Khoiron untuk setiap peluh yang kau teteskan, untuk setiap kerut dahimu yang tak sempat kuhitung, untuk setiap jaga sepanjang malam ketika aku sakit dan ketika kau merindukanku, untuk tumis kangkung paling lezat sedunia, untuk tempat duduk terbaik di bahumu yang begitu kekar ketika aku ingin melihat pawai, untuk tetes "air mata laki-laki "yang begitu mahal ketika kau khawatirkan aku, untuk kepercayaanmu padaku, meski seringkali ku khianati. Tak akan pernah bisa terbalas segalanya,  kecuali dengan .......jazakallahukhoiron, semoga Allah mengganti semuanya dengan surga, semoga...... .."

Hmm..jadi ingat nasi goreng buatan ayah.. nasi goreng dengan rasa teraneh di dunia, tapi anehnya rasanya ngangenin…mizz u dad… Ternyata ayah itu Menakjubkan..

Ya Allah tolonglah sampaikan..
Sejuta sayangku untuknya..
Ku terus berjanji..
Tak kan khianati pintanya..
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya..
Ku mencintaimu..
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu..
 
Sumber : Fashingnet.com
Read more »

Uang Sepuluh Ribu Membuatku Bersyukur

Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman.

Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai mereka membayar semua barang belanjaan. Tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan.

Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, "Beri kami sedekah, Bu!" Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah.

Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala ia tahu jumlahnya dan ternyata itu tidak mencukupi kebutuhannya, ia kemudian menguncupkan jari-jarinya dan ia arahkan kearah mulutnya, kemudian ia memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke arah mulutnya. Seolah ia berkata dengan bahasa isyarat, "Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan." Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, "Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!" Ironisnya meski ia tidak menambahkan sedekahnya malah istri dan putrinya Budiman menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan.

Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang adalah tanggal dimana ia menerima gajian dari perusahaannya, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekeningnya. Ia sudah berada di depan ATM. Ia masukkan kartu ke dalam mesin tersebut. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncullah beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening. Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM.

Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Kemudian uang itu ia lipat menjadi kecil dan ia berniat untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah. Budiman memberikan uang itu. Lalu saat sang wanita melihat nilai uang yang ia terima betapa girangnya dia. Ia berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: "Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!"

Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, "Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!" Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan.

Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana. Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman.

Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. "Ada apa Pak?" Istrinya bertanya. Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: "Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!" Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman menyatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis, namun Budiman melanjutkan kalimatnya: "Bu...aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa! Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah. Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba.
Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang suka lalai atas segala nikmat-Mu.
Sumber : Fashingnet.com
Read more »

9 Maret 2012

Bencana

Dalam jangka waktu yang singkat, serentetan bencana telah menyinggahi saudara – saudara kita. Gempa dahsyat di Jawa Barat, kemudian disusul gempa hebat di Padang, Sumatera Barat dan gempa berikutnya di kaki Kerinci. Semuanya menelan korban harta, benda dan nyawa. Semuanya meninggalkan cerita, tangis duka dan derita. Kejadian yang tidak bisa diduga dan tidak bisa disangka. Hanya sekejap dan meluluh -lantakkan segalanya. Dalam hitungan detik dan menit. Namun mampu menghancurkan berbagai bangunan yang dibangun berlama – lama oleh anak manusia. Itulah dahsyatnya kuasa Allah Yang Maha Perkasa. Siapa mampu mencegahnya? Apakah ada yang merasa aman dari KuasaNya?

Dalam ketermenungan hati ini, bait – bait puisi Rendra selalu memenuhi biduk benak kepala saya. Saya mau, saya ingin, berhasrat bahwa,
.......... keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.


Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku".
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.


Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

Sengaja saya kutip Makna Sebuah Titipan ini, untuk mewakili perasaan saya. Setidaknya itulah perasaan hati ini seketika. Spontan ketika mendengar gempa dan selamat darinya. Mungkin juga kebanyakan manusia. Ya, saya tidak menampik bahwa terkadang memang pernah demikian. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, banyak pemahaman-pemahaman yang akhirnya memberikan pencerahan kepada batin saya bahwa itu perlu dikoreksi kembali. Tidak demikian adanya, sebab setelah menjadi orang iman, beribadah, tahu dalil, ngaji tentu akan terjawab semua keluh kesah dan keraguan hidup ini. Begitulah hati, mbolak-mbalik dan iman yang naik-turun.
Seandainya tidak ada saudara kita yang ikut tertimpa gempa, mungkin kita sepakat  mengatakan kalau itu merupakan siksa. Namun berhubung ada juga saudara kita yang tertimpa, maka kita katakan itu sebagai musibah. Toh, kita mendapatkan pencerahan yang jelas dari para penasehat bahwa gempa itu sebagai siksa untuk orang kafir, sedangkan bagi orang iman itu sebagai musibah. Benarkah?
Apapun namanya, apapun bentuknya, yang namanya musibah itu tidak mengenakkan.  Dan walaupun kita tidak tertimpa bencana tersebut, namun biasanya kita juga kena imbasnya besar maupun kecil.  Sebenarnya ada kerancuan pemahaman (dibenak saya); kapan kita mengatakan bencana itu musibah dan kapan kita mengatakan itu sebagai siksa. Hal ini terkait dengan keberadaan kita dengan masyarakat luas – di sekitar kita. Sebab kita akan gampang mengatakan itu sebagai siksa, bencana, hukuman dan apapun yang bersifat jelek, jika kejadian itu tidak menimpa kita. Sebaliknya jika itu menimpa kita, maka kita tidak serta merta mengatakan hal yang sama bukan?
Mari kita simak lagi surat Fathir ayat 45, Allah berfirman; ”Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya/aniayanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
Ayat tersebut setidaknya mengingatkan kita bahwa Allah tidak akan menyiksa lagi hambanya di dunia ini secara langsung jika melanggar hukum-hukum-Nya, melainkan menunggu sampai nanti setelah mati. Maka kemudian Allah berfirman dalam surat Asy-syura ayat 30, ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Jadi, kedua ayat ini klop – saling melengkapi. Artinya menerangkan bahwa bencana yang terjadi itu sebab ulah manusia sendiri, seperti banjir bandang dan tanah longsor sebab hutannya digunduli. Kecelakaan kereta api sebab masinisnya ngantuk. Kapal tenggelam karena perawatannya tidak memenuhi standar. Lumpur panas nongol sebab SOP-nya dilanggar, dsb. Tapi bagaimana dengan bencana Alam? Itu adalah sunnatullah – hukum Allah. Sesuatu yang telah digariskan oleh Allah akan terjadi. Maksudnya bukan sebagai suatu siksaan karena ulah hamba yang menentangNya. Sebab Allah sudah berjanji sesuai ayat di atas. Dan tidak pilih kasih, baik ada orang iman atau tidak di dalamnya. Coba kita simak surat Anfaal ayat 33: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.
Dengan ayat – ayat ini semoga menjadi tambah jelas dan tambah luas kolam  pemahaman kita. Maka, jika ada orang yang mengatakan kalau bencana itu sebagai peringatan dari Yang Kuasa, kita bisa mengiyakan. Kalau ada orang yang mengatakan gempa itu sebagai siksa, kita bisa menerima. Atau seperti kata Ebiet, bahwa bencana adalah tanda kalau Tuhan telah bosan melihat tingkah kita, dengan seraya kita menganggukinya. Pun kalau ada yang berkata kalau itu tandanya Allah murka, kita pun menyetujuinya. Kalau ada yang mengatakan lindu itu sebagai mushibah, kita bisa memahaminya. Apapun kata orang, kita bisa mengartikan dan mendudukkan pada tempatnya. Yang terpenting, semuanya itu berarti bagi diri masing – masing sebagai jalan pintas untuk mendekatkan diri – taqorrub - pada Yang Maha Kuasa dan berbuat baik semata pada sesama. Semua sah sesuai dengan cara pandang dan tingkat pemahaman ilmunya masing – masing. Sebab dibalik semua bencana itu, ada berkah yang tersimpan di dalamnya. Ada rahasia Allah yang akan terbuka bagi umat manusia. Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Dalam sekejap saya teringat syair pujian di masjid kampung saya. Para fatayat sering mengumandangkan bait pujian berikut ini:

Bumine goyang – bumine goyang, arane lindu
Ora sembahyang – ora sembahyang bakale wudu.
(Ketika bumi bergoncang, itulah yang namanya gempa
Ketika orang tidak sembahyang, rugilah akhirnya)

Bagi yang belum bisa memahami uniknya dinamika hidup ini, masih ada waktu untuk memperbaiki perspektifnya, sehingga menjadi manusia yang utama – pol – jembar wawasannya, baik  dalam bertindak maupun bertutur kata di atas cakrawala kehidupan ini. Jangan serta merta kita gembira jika bencana itu tidak menimpa kita atau saudara kita dan mengatakan itu siksa. Namun gunakanlah itu sebagai introspeksi, motivator peningkatan ibadah kita, seraya istirja jika perlu atau berdoa – yaitu doa ketika melihat orang dicoba. Dan yang paling penting representasikanlah rasa empati kita dalam wujud yang sebenarnya. Jangan hanya bilang kasihan, tetapi tak berbuat apa – apa.

Oleh :Faizunal Abdillah
Read more »

Hidup Hanya Sekali

Salah satu mata pelajaran yang saya benci sejak memasuki bangku sekolah adalah kesenian, terutama nyanyi. Perasaan saya sudah berusaha pol – polan untuk bisa menyanyi tetapi masih saja hasilnya jelek, nggak ketulungan. Perasaan saya sudah enak, pas dan gayeng, ternyata masih menyakiti telinga orang di sana – sini, terutama yang jadi juri. Mungkin keinginan yang besar itulah yang membunuh rasa seni itu sendiri. Keinginan besar untuk jadi penyanyi, jadi sinden, wiraswara, artis, hingga mengikis jiwa seni itu sendiri. Atau memang lingkungan saya yang tidak punya jiwa seni. Hasilnya menjadikan saya orang yang tidak bisa berkesenian. Dasar wagu...! Ditilik dari sejarah keluarga, memang tidak ada darah seni yang mengalir di garis keturunan keluarga kami. Maka tak heran, kami berlima juga tidak ada yang jago nyanyi atau seni yang lain. Kebanyakan kami berlima juga tidak suka pelajaran itu. Memainkan alat musik, gak bisa. Menggambar, kalau bisa dihindari. Uih, pokoknya agak pobhilah yang menyangkut tarik - urat leher dan tarik - garis alias menggambar ini. Namun, sebagai kompensasinya saya lebih perhatian dan lebih jeli memahami apa yang disampaikan lewat seni. Walaupun saya tidak bisa mocopat, tapi syair dan arti kalimat yang terkandung didalamnya menjadi concern saya. Pemacu jiwa, penggugah rasa dan penyejuk hidup. Banyak tembang – tembang yang menurut saya bisa menjadi perkeling, untuk sekedar memperkuat dalil atau menjadi keterangan dalil itu sendiri. Nah, di dalam Adabul Mufrad, Imam Bukhori meriwayatkan dari Muhammad bin Sala, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ayyasy, dari Abdurrohman bin Ziyad bin An’am, dari Abdurrohman bin Rofi’ dari Abdulloh bin Amr, ia berkata, Rasululloh SAW bersabda; “Kedudukan syair itu seperti perkataan pada umumnya, baiknya seperti baiknya perkataan dan jeleknya seperti jeleknya perkataan.” (Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruqutni (4/156) dan Al-Baihaqi (5/68)) Dari Aisyah r.a., dia berkata,”Diantara syair itu ada yang baik dan ada yang buruk, maka ambillah yang baik dan tinggalkanlah yang buruk. Aku telah banyak meriwayatkan syair – syair dari Ka’ab bin Malik yang diantaranya berbentuk qashidah yang terdiri dari 40 bait dan sebagainya.” (Rowahu Bukhori fi Adabil Mufrad dan Al-Hafidz didalam Fathul Barinya (10/539)) Menimbang atsar di atas, beberapa bait syair terasa menyentuh kalbu. Mungkin karena situasi yang mengkondisikan, karena rindu kampung halaman, sepi sendiri atau memang untaian hikmahnya yang tersembunyi di baliknya, sebagai sebuah perkeling seperti tembang Urip pisan berikut ini. 

Ora susah nelangsa, yen urip iku mung sakderma. Banda amung titipan, yen nyawa jarene gadhuan. Tangeh lamun yen bisa, manungsa ping pindho neng ndonya. Urip iku mung pisan, sanepane kaya jelungan. Apa gunane murka, numpuki banda. Lali dalan utama, nganti tumindak cidro. Mbok iya dha ngelingi, yen pati mung sak wanci-wanci. Kabeh mesthi tekan janji, antarane siang lan ratri. 

Tidak usah bersedih, tidak usah nelangsa. Bergembiralah. Hidup itu hanya sakderma, sementara saja, menjalankan skenario - qodar yang ada. Harta adalah titipan dari Yang Kuasa, dan nyawa adalah gadaian yang akan ditebus lagi oleh yang punya. Ia bersifat sementara. Tidak mungkin, imposible, non sense, manusia bisa hidup dua kali di dunia ini. Hidup itu hanya sekali, gambarannya seperti orang main petak umpet. Kalau sudah selesai main terus bubar kembali ke rumah masing – masing. 

Oleh karenanya, tidak ada gunanya berbuat jahat, dan menumpuk – numpuk harta. Lupa dengan jalan yang benar, lupa agama, sehingga ingkar janji dan berbuat jelek, curang, culas dan seenak perutnya. Alangkah baiknya sama ingat, sama eling, bahwa mati itu sewaktu – waktu datangnya. Tidak bisa ditolak. Semua pasti sesuai dengan janjiNya, tempo dan ajalnya, bisa datang pada waktu siang maupun malam. Semua akan mati. Mungkin, Anda punya tembang favorit yang selalu menyentak kalbu jika didendangkan. Jangan dibuang, tapi pergunakanlah saat keimanan sedang goyang, untuk kembali memacu dan menemukan ritmenya naik lagi. Pergunakanlah saat – saat tertentu. Saat yang pas, saat dibutuhkan. Setiap orang mungkin beda, tergantung latar belakang dan pengalaman hidup yang pernah dihadapinya. Dan jika punya, jangan lupa berbagilah dengan saya. 

Oleh :Faizunal Abdillah
Read more »