5 Februari 2012

Bahagia (As-sa’idu)

Di kala datang hari itu (yaitu Hari Qiyamat), tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.  … Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS Hud 105 dan 108)

Menyimak kembali beberapa tulisan tentang kebahagiaan tempo dulu, terbersit keinginan untuk me-redefinisi kajian tentang kebahagiaan ini.  Bukan untuk unjuk kebolehan muapun ujub yang tak karuan, kami hanya bermaksud sekedar berbagi, juga semacam tanggung jawab moral atas kekurangan tempo dulu dan memberi makna lebih akan indahnya hidup ini. Namun demikian, tetap saja dalam memberikan jalan pemahaman mempunyai keterkaitan dengan kaidah dan sumber lain yang berhubungan dan memperkuatnya walau tak lepas dari kekurangan tentunya. Kata-kata yang sering kita jumpai dalam yang berhubungan dengan bahagia selain as-sa’iidu adalah seperti falah/aflah yang sering diartikan beruntung dan ghina atau kaya. Secara umum orang sering mengkaitkan kebahagiaan dengan keberuntungan dan kekayaan. Banyak orang yang berpendapat bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang kaya atau kalau tidak kaya setidaknya ia adalah orang yang beruntung. Mari kita simak sumber – sumber berikut.

Rasulullah SAW bersabda: “Di antara kebahagiaan anak Adam adalah istikharahnya (memohon pilihan) kepada Allah, dan diantara kebahagiaan anak Adam adalah kerelaannya kepada ketetapan Allah, sedangkan diantara kesengsaraan anak Adam adalah dia meninggalkan istikharah kepada Allah, dan diantara kesengsaraan anak Adam adalah kemurkaannya terhadap ketetapan Allah.” (Rowahu Ahmad No 1367)
Rasulullah SAW bersabda; ”Sungguh beruntung (bahagia) orang yang ditunjukkan (diberi hidayah) kepada islam dan diberi rizqi yang cukup dan menerima dengan hal tersebut”. (Rowahu Imam Muslim 2/730/1045; Tirmidzi 4/6/2452; Ibnu Majah 2/13/16/4138).
Rasulullah SAW bersabda: “Ridlalah dengan apa yang Allah bagikan buatmu, kamu akan menjadi orang yang terkaya”. (Rowahu Imam Turmudzi 3/377/2407)

Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah kaya itu karena banyaknya harta benda akan tetapi kaya itu adalah kaya jiwa”. (Rowahu Imam Bukhari 11/271/6446; Muslim 2/672/1051; Tirmidzi 4/35/2479)

Secara berurutan dalil - dalil di atas menunjukkan arah kemana manusia mencari ladang kebahagiaan. Benih – benih kebahagiaan ternyata dimulai dari sikap memilih. Dan di sinilah sebetulnya kemampuan manusia yang luar biasa itu di gali. Banyak di antara manusia yang belum sadar bahwa manusia diberi kebebasan dan kekuatan untuk memilih. Yang dalam bahasa haditnya disebut dengan istikharah. Kaitannya dengan kebahagiaan ini, bisa saya tampilkan sebuah skenario, bahwa jarang manusia yang sadar untuk memilih berbahagia dengan apa yang ada. Kebanyakan orang mempunyai ekspektasi berlebih sehingga melupakan apa yang ada dan mempengaruhi pilihannya. Istikharah hanya menjadi alibi, tanpa kesadaran yang nyata dan keyakinan yang full akan tindakan dan doanya. Sudah istikharah tetapi tidak sungguh – sungguh menjalaninya. Akhirnya, tanpa sengaja mereka menjatuhkan pilihan di seberang tembok bernama ketidak-bahagiaan. Wujud kesadaran memilih ini adalah sikap rela terhadap apa yang didapatkannya. Menerima terhadap apa yang diberikan. Lebih jauh lagi, sikap memilih dan kerelaan ini tertanam di dalam hati sehingga menjelma menjadi kekayaan yang tiada taranya.

Kebahagiaan adalah jalan yang panjang. Banyak benih dan unsur yang  membentuknya. Namun satu hal yang pasti, unsur pertama bahagia yang harus kita tahu adalah bahwa bahagia itu letaknya ada di dalam diri kita, hati kita bukan di luar diri kita. Dan untuk membukanya mulai sekarang ucapkanlah dan niatkanlah; saya memilih untuk berbahagia...!!!
Nabi SAW bersabda : “Siapa diantara kalian yang pada waktu pagi hari dalam keadaan sehat badannya, merasa aman dalam hatinya, dan punya makanan hari itu, maka seakan - akan dunia diberikan kepadanya”. (Rowahu Tirmidzi 14/5/2449; Ibnu Majah 2/13/17/4141)


Oleh : Ustadz Faizunal Abdillah

0 comments:

Posting Komentar